Sabtu, 28 Januari 2012

Sepotong Episode (cerpen)


“Kak Nesa, apa menurut kakak, aku harus ngebenci Elang…???” tanya Lian tiba-tiba dengan wajah tertunduk.
Remaja berumun 16 tahun ini terduduk lesu di tempat tidurnya.
“Nggak, nggak perlu, de. Kamu tau nggak, kakak juga pernah ngebenci seseorang, yah, mungkin karena kakak terlalu membencinya lama-lama kakak jadi ngarepinnya,” terawang Nesa
“Maksud kakak, Mas Alfian? Yang pacar pertamanya Kak Nesa, ya? tanya Lian penasaran. Sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan Kak Nesa… pikir Lian.
“Ng…”
Lama Nesa tak menjawab pertanyaan Lian.
“Kak? Kak Nesa???”
***
Aku nggak peduli Alfian mau pacaran sama siapa aja, aku nggak peduli. Yang penting aku tetap pada pendirianku. Aku… nggak akan nyerah begitu aja, selama aku mampu dan bisa.
Nesa menutup diary mungil itu dan menaruhnya kembali di tempatnya. Hatinya tak karuan.
Pintu kamar terbuka. “Nes? Kamu ngelamun lagi?” tanya Fina tiba-tiba dari balik pintu.
Nesa terkejut. “Eh, ng, anu, enggak kok,”
Fina menarik napas dalam-dalam, “Hmmph, kamu masih mikirin Alfian? Apa kamu menyesal dengan keputusanmu, Nes?” tebak Fina
Nesa Cuma menggeleng.
“Terus, apa yang jadi masalahmu? Apa yang sekarang kamu pikirkan, Nesa sayang?”. Fina mendekat dan duduk di samping Nesa.
“Aku ingin hidup bebas tanpa ikatan…, aku ingin ketika aku jatuh cinta pada seseorang, dialah yang pertama sekaligus yang terakhir bagiku,”
“Nes, bener kamu mau ngebenci Alfian? Apa kamu nggak akan menyesal?”
“Enggak… aku harus tetap melakukannya, Fin. Aku harus membencinya… aku pengen banget bisa melupakan dia, tapi…”
“kamu nggak bisa? Kamu masih sayang, kan?” tebak Fina. “aku tau gimana rasanya, sangat menyakitkan. Apalagi kalo melihat orang yang kita sayang dan sukai jalan bareng sama cewek lain…”
Nesa mengangguk perlahan. Pandangannya masih tertunduk.
“Makasih, ya Fin,”ungkap Nesa sambil menyeka air matanya dan mulai tersenyum.
“Aku memang masih bimbang dengan keputusanku untuk mulai membencinya. Tapi aku harus melakukannya. Mau tidak mau. Karena aku nggak tau cara apa lagi agar aku bisa cepat melupakan dia dan tidak menganggapnya lagi… entahlah, semoga aku sanggup…,” lanjutnya.
Fina mengangguk. “Kamu pasti bisa melupakannya,”
Aku hanya tidak tau apa yang harusnya aku lakukan. Apa kau tau bagaimana caranya agar aku dapat dengan cepat melupakanmu? Katakan. Katakan itu.
***
“Nes, kamu ikut ke Pangandaran, kan?”tanya Fina dari balik gagang telepon bersemangat.
“Yappy! Insya Allah aku ikut,”
“Yes! Nah, gitu dong. Semakin banyak yang ikut kan semakin asyik! Iya, nggak?”
“Iya deh, iya… haduuh, mentang-mentang yang jadi pelopornya nih… ngomporin-ngomporin segala…, eh ya, temen-temen kelas banyak yang ikut?”tanya Nesa penasaran
“Yah, lumayan. Lumayan banyak. Ada Zaza, Fitri, Nida, Asma, Isti, Viona, Rena, Diki ma Tari. Itu ceweknya. Kalo anak-anak cowok semuanya ikut, Nes,”
“Ok lah, kalo gitu aku jadi tambah semangat deh, hehe,”
Hari ini anak-anak kelas 2 IPA dan IPS SMANSA Purwokerto mengadakan study tour ke Pangandaran Beach. Nesa yang sejak sebelum subuh telah mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa, sudah terlihat cantik di depan cermin kamarnya sedang merapikan kerudung biru dengan motif bungan-bunga putih kecil yang pakainya untuk pagi itu. Tas ransel besar berisi keperluan dan jajan sudah siap dibawa. Jam lima tepat setelah sholat shubuh, sebuah sedan silver membunyikan klaksonnya. Fina sudah tiba untuk menjemputnya.
“Sudah siap, neng geulis?”
Nesa Cuma senyum. “Yuk! Pamit dulu ya,”. Tak lama mereka pun berangkat ke sekolah untuk berkumpul dengan teman-teman yang lain.
Dear diary. Rabu, 14 Juni 2006.
Ke Pangandaran memang asyik. Apalagi bareng-bareng Zaza, Fitri, Nida, Isti dan Fina. Tapi disaat aku lagi happy-happynya, kesenanganku berubah seratus persen menjadi kesedihan yang mendalam, sampai-sampai aku nggak kuat untuk bicara sepatah katapun. Malam itu, saat kami dalam perjalanan pulang dari Pangandaran, dan disaat aku sedang melihat pemandangan bintang-bintang di luar jendela sana, aku semalaman berhenti bicara. Bisu. Cuma dingin yang aku rasakan. ‘Dia’ nggak tau kalau aku lagi mikirin dia. Sedangkan dia, di bangku belakangku, dengan teman-temannya mencoba untuk ‘menyindir’ku. Yah ry, tentang sikapku selama ini ke dia. Satu hal yang membuatku terdiam, hal yang teramat bodoh yang pernah aku lakukan, yaitu mikirin, kenapa aku bisa, masih suka sama orang senyebelin dia???? Bahkan sampai saat ini.  Aku jawab aja, nggak tahu! Untunglah teman-temanku ada bersamaku. Paling nggak ada Fina, Zaza dan Fitri. Merekalah yang menjadi alasanku buat angkat bicara. Kalau nggak ada mereka, apa jadinya aku?
Nesa menenggelamkan wajah ke bantal dan menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuat menahan dadanya yang terasa sangat sesak. Hatinya terasa sangat sakit. Seperti teriris-iris menjadi bagian-bagian kecil namun tak mengeluarkan sedikitpun darah. Dalam tangisnya, ia berharap mungkin dengan ini dia bisa membayar sedikit rasa sakit yang juga ia berikan pada Alfian. Keputusannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Alfian dengan keputusannya sendiri tanpa ada kesepakatan dari Alfian.
***
Tak terasa satu tahun telah berlalu. Anak-anak kelas tiga telah selesai ujian, kini saatnya menunggu hasil kelulusan. Nesa mengambil tas ransel pink-nya bersiap untuk berangkat. Meski sudah tak ada pelajaran lagi tapi tetap harus ke sekolah untuk mengurusi beberapa hal. Inilah saat-saat terakhirku, gumam Nesa mulai melangkahkan kakinya.
“Hai, Nes,” sapa  Resta teman satu kelasnya dengan wajah sumringah.
“Hai, Res! Lagi ngapain nih masih pagi-pagi udah di depan kantin. Masih tutup, lho,”tanya Nesa iseng
“Hehe, biasa, laper. Ya nih, tumben ibunya belum buka,”jawab Resta mesam-mesem.
“Fina mana? Tumben gak sama Fina?”
Nesa Cuma senyum. “Finanya tadi masih belum mandi, jadi ta’ tinggal deh,”
“Oh…”.
Sambil menunggu kantin buka, Nesa dan Resta asyik mengobrol.
“Nes, tenang aja, kamu masih punya kesempatan kok,” kata Resta tiba-tiba.
“Ng? apa?” ucap Nesa tak terlalu paham dengan yang dikatakan Resta barusan.
“Tenang aja kamu masih punya kesempatan kok. Selama orang yang kamu sayangi masih hidup dan dia belum milik siapa-siapa, kamu masih punya kesempatan kok untuk mendapatkannya kembali. Percaya deh. Jangan sampai nantinya kamu menyesal, key!”
Nesa bengong. “Hah? Kok… malah jadi ngomongin itu, sih?”
“Udah, jujur aja. Kamu masih suka sama Alfian sampai saat ini, kan?”
“Ng…, tau dari mana?”
“Tau lah, dari sikapmu juga udah bisa ditebak kok. Udah banyak kok teman-teman kelas yang tau ini, kamunya aja yang nggak nyadar…”. Nesa terdiam, hanya mendengarkan.
“Tapi Nes, dia nggak pantas buat kamu. Alfian itu bukan satu-satunya yang terbaik, kamu harus yakin itu. Buat apa sih kamu lama-lama nunggu dia, sedangkan dia, orang yang kamu tunggu, orang yang kamu suka sampai saat ini, nggak pernah tau kalau kamu ternyata masih suka sama dia. Waktumu terbuang sia-sia, Nes,” ucap seseorang dari belakang mereka.
“Fina???” jawab Nesa dan Resta hampir serempak.
“Kamu…”
“Nes, udahlah, buat apa sih kamu masih mengharapkan dia? Ini udah lama, Nes. Dari sejak hampir tiga tahun yang lalu kamu mulai suka ke dia, sampai sekarang???! Sulit aku percaya, ada ya orang yang seperti itu…”
“Fin, aku…”
“Nes, Alfian…” gumam Resta sambil menunjuk seseorang. “Alfian sama Vio, mereka…”
“Sangat akrab,” potong Fina cepat. “Karena mereka pacaran,”
Nesa menatap dua orang yang berada cukup jauh di depannya. Ia terdiam dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku, ini kesempatanku untuk masih bisa suka sama Alfian. Untuk selanjutnya, aku janji, aku janji, setelah ini, setelah lulus, aku pasti akan benar-benar melupakan dia. Aku janji, ke diriku sendiri…” suaranya terputus-putus. “mulai sekarang aku gak mau lagi berharap apa-apa dari dirinya lagi,”
Fina memeluk Nesa. Sebenarnya ia tak ingin melihat sabahabatnya selalu bersedih hanya karena satu orang saja. Ia ingin Nesa bahagia, meski tanpa Alfian.
“Fin, apa aku bisa bahagia?”
“Tentu, kamu pasti bisa. Kamu masih punya banyak cinta disekelilingmu. Mama, papa, Kak Dino, Dik Lian, keluarga mu yang lain, dan masih banyak juga sahabat serta teman-temanmu. Kamu nggak sendirian, Nes. Ah ya, kamu masih punya Allah kan untuk diajak curhat juga kan? Dia pasti sudah menyiapkan yang terbaik buatmu,”
Nesa mengangguk mengerti.
“Hidup itu seperti roda. Kadang di atas, kadang juga di bawah. Tapi yakinlah, disetiap kejadian yang kita lalui selalu ada hikmah disana. Hanya saja kita tidak atau belum melihatnya. Kita hidup bukan untuk masa lalu, tapi kita hidup untuk masa depan,”
Dear diary. Aku menunggu, sampai Sang Maha cinta mengizinkanku melupakanmu.
***

:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar