“Kak Nesa, apa menurut
kakak, aku harus ngebenci Elang…???” tanya Lian tiba-tiba dengan wajah
tertunduk.
Remaja berumun 16 tahun
ini terduduk lesu di tempat tidurnya.
“Nggak, nggak perlu, de.
Kamu tau nggak, kakak juga pernah ngebenci seseorang, yah, mungkin karena kakak
terlalu membencinya lama-lama kakak jadi ngarepinnya,” terawang Nesa
“Maksud kakak, Mas Alfian?
Yang pacar pertamanya Kak Nesa, ya? tanya Lian penasaran. Sepertinya ada sesuatu
yang dirahasiakan Kak Nesa… pikir Lian.
“Ng…”
Lama Nesa tak menjawab
pertanyaan Lian.
“Kak? Kak Nesa???”
***
Aku
nggak peduli Alfian mau pacaran sama siapa aja, aku nggak peduli. Yang penting
aku tetap pada pendirianku. Aku… nggak akan nyerah begitu aja, selama aku mampu
dan bisa.
Nesa menutup diary
mungil itu dan menaruhnya kembali di tempatnya. Hatinya tak karuan.
Pintu kamar terbuka.
“Nes? Kamu ngelamun lagi?” tanya Fina tiba-tiba dari balik pintu.
Nesa terkejut. “Eh, ng,
anu, enggak kok,”
Fina menarik napas
dalam-dalam, “Hmmph, kamu masih mikirin Alfian? Apa kamu menyesal dengan
keputusanmu, Nes?” tebak Fina
Nesa Cuma menggeleng.
“Terus, apa yang jadi
masalahmu? Apa yang sekarang kamu pikirkan, Nesa sayang?”. Fina mendekat dan
duduk di samping Nesa.
“Aku ingin hidup bebas tanpa
ikatan…, aku ingin ketika aku jatuh cinta pada seseorang, dialah yang pertama
sekaligus yang terakhir bagiku,”
“Nes, bener kamu mau
ngebenci Alfian? Apa kamu nggak akan menyesal?”
“Enggak… aku harus
tetap melakukannya, Fin. Aku harus membencinya… aku pengen banget bisa
melupakan dia, tapi…”
“kamu nggak bisa? Kamu
masih sayang, kan?” tebak Fina. “aku tau gimana rasanya, sangat menyakitkan.
Apalagi kalo melihat orang yang kita sayang dan sukai jalan bareng sama cewek
lain…”
Nesa mengangguk
perlahan. Pandangannya masih tertunduk.
“Makasih, ya
Fin,”ungkap Nesa sambil menyeka air matanya dan mulai tersenyum.
“Aku memang masih
bimbang dengan keputusanku untuk mulai membencinya. Tapi aku harus
melakukannya. Mau tidak mau. Karena aku nggak tau cara apa lagi agar aku bisa
cepat melupakan dia dan tidak menganggapnya lagi… entahlah, semoga aku
sanggup…,” lanjutnya.
Fina mengangguk. “Kamu
pasti bisa melupakannya,”
Aku
hanya tidak tau apa yang harusnya aku lakukan. Apa kau tau bagaimana caranya
agar aku dapat dengan cepat melupakanmu? Katakan. Katakan itu.
***
“Nes, kamu ikut ke
Pangandaran, kan?”tanya Fina dari balik gagang telepon bersemangat.
“Yappy! Insya Allah aku
ikut,”
“Yes! Nah, gitu dong.
Semakin banyak yang ikut kan semakin asyik! Iya, nggak?”
“Iya deh, iya… haduuh,
mentang-mentang yang jadi pelopornya nih… ngomporin-ngomporin segala…, eh ya,
temen-temen kelas banyak yang ikut?”tanya Nesa penasaran
“Yah, lumayan. Lumayan
banyak. Ada Zaza, Fitri, Nida, Asma, Isti, Viona, Rena, Diki ma Tari. Itu
ceweknya. Kalo anak-anak cowok semuanya ikut, Nes,”
“Ok lah, kalo gitu aku
jadi tambah semangat deh, hehe,”
Hari ini anak-anak
kelas 2 IPA dan IPS SMANSA Purwokerto mengadakan study tour ke Pangandaran
Beach. Nesa yang sejak sebelum subuh telah mempersiapkan barang-barang yang
akan dibawa, sudah terlihat cantik di depan cermin kamarnya sedang merapikan
kerudung biru dengan motif bungan-bunga putih kecil yang pakainya untuk pagi itu.
Tas ransel besar berisi keperluan dan jajan sudah siap dibawa. Jam lima tepat
setelah sholat shubuh, sebuah sedan silver membunyikan klaksonnya. Fina sudah
tiba untuk menjemputnya.
“Sudah siap, neng geulis?”
Nesa Cuma senyum. “Yuk!
Pamit dulu ya,”. Tak lama mereka pun berangkat ke sekolah untuk berkumpul
dengan teman-teman yang lain.
Dear
diary. Rabu, 14 Juni 2006.
Ke
Pangandaran memang asyik. Apalagi bareng-bareng Zaza, Fitri, Nida, Isti dan
Fina. Tapi disaat aku lagi happy-happynya, kesenanganku berubah seratus persen
menjadi kesedihan yang mendalam, sampai-sampai aku nggak kuat untuk bicara
sepatah katapun. Malam itu, saat kami dalam perjalanan pulang dari Pangandaran,
dan disaat aku sedang melihat pemandangan bintang-bintang di luar jendela sana,
aku semalaman berhenti bicara. Bisu. Cuma dingin yang aku rasakan. ‘Dia’ nggak
tau kalau aku lagi mikirin dia. Sedangkan dia, di bangku belakangku, dengan
teman-temannya mencoba untuk ‘menyindir’ku. Yah ry, tentang sikapku selama ini
ke dia. Satu hal yang membuatku terdiam, hal yang teramat bodoh yang pernah aku
lakukan, yaitu mikirin, kenapa aku bisa, masih suka sama orang senyebelin
dia???? Bahkan sampai saat ini. Aku
jawab aja, nggak tahu! Untunglah teman-temanku ada bersamaku. Paling nggak ada
Fina, Zaza dan Fitri. Merekalah yang menjadi alasanku buat angkat bicara. Kalau
nggak ada mereka, apa jadinya aku?
Nesa menenggelamkan
wajah ke bantal dan menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuat menahan dadanya yang
terasa sangat sesak. Hatinya terasa sangat sakit. Seperti teriris-iris menjadi
bagian-bagian kecil namun tak mengeluarkan sedikitpun darah. Dalam tangisnya,
ia berharap mungkin dengan ini dia bisa membayar sedikit rasa sakit yang juga
ia berikan pada Alfian. Keputusannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Alfian
dengan keputusannya sendiri tanpa ada kesepakatan dari Alfian.
***
Tak terasa satu tahun
telah berlalu. Anak-anak kelas tiga telah selesai ujian, kini saatnya menunggu
hasil kelulusan. Nesa mengambil tas ransel pink-nya bersiap untuk berangkat.
Meski sudah tak ada pelajaran lagi tapi tetap harus ke sekolah untuk mengurusi
beberapa hal. Inilah saat-saat terakhirku, gumam Nesa mulai melangkahkan
kakinya.
“Hai, Nes,” sapa Resta teman satu kelasnya dengan wajah
sumringah.
“Hai, Res! Lagi ngapain
nih masih pagi-pagi udah di depan kantin. Masih tutup, lho,”tanya Nesa iseng
“Hehe, biasa, laper. Ya
nih, tumben ibunya belum buka,”jawab Resta mesam-mesem.
“Fina mana? Tumben gak
sama Fina?”
Nesa Cuma senyum.
“Finanya tadi masih belum mandi, jadi ta’ tinggal deh,”
“Oh…”.
Sambil menunggu kantin
buka, Nesa dan Resta asyik mengobrol.
“Nes, tenang aja, kamu
masih punya kesempatan kok,” kata Resta tiba-tiba.
“Ng? apa?” ucap Nesa
tak terlalu paham dengan yang dikatakan Resta barusan.
“Tenang aja kamu masih
punya kesempatan kok. Selama orang yang kamu sayangi masih hidup dan dia belum
milik siapa-siapa, kamu masih punya kesempatan kok untuk mendapatkannya
kembali. Percaya deh. Jangan sampai nantinya kamu menyesal, key!”
Nesa bengong. “Hah?
Kok… malah jadi ngomongin itu, sih?”
“Udah, jujur aja. Kamu
masih suka sama Alfian sampai saat ini, kan?”
“Ng…, tau dari mana?”
“Tau lah, dari sikapmu
juga udah bisa ditebak kok. Udah banyak kok teman-teman kelas yang tau ini,
kamunya aja yang nggak nyadar…”. Nesa terdiam, hanya mendengarkan.
“Tapi Nes, dia nggak
pantas buat kamu. Alfian itu bukan satu-satunya yang terbaik, kamu harus yakin
itu. Buat apa sih kamu lama-lama nunggu dia, sedangkan dia, orang yang kamu
tunggu, orang yang kamu suka sampai saat ini, nggak pernah tau kalau kamu
ternyata masih suka sama dia. Waktumu terbuang sia-sia, Nes,” ucap seseorang
dari belakang mereka.
“Fina???” jawab Nesa
dan Resta hampir serempak.
“Kamu…”
“Nes, udahlah, buat apa
sih kamu masih mengharapkan dia? Ini udah lama, Nes. Dari sejak hampir tiga
tahun yang lalu kamu mulai suka ke dia, sampai sekarang???! Sulit aku percaya,
ada ya orang yang seperti itu…”
“Fin, aku…”
“Nes, Alfian…” gumam
Resta sambil menunjuk seseorang. “Alfian sama Vio, mereka…”
“Sangat akrab,” potong
Fina cepat. “Karena mereka pacaran,”
Nesa menatap dua orang
yang berada cukup jauh di depannya. Ia terdiam dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku, ini kesempatanku
untuk masih bisa suka sama Alfian. Untuk selanjutnya, aku janji, aku janji,
setelah ini, setelah lulus, aku pasti akan benar-benar melupakan dia. Aku
janji, ke diriku sendiri…” suaranya terputus-putus. “mulai sekarang aku gak mau
lagi berharap apa-apa dari dirinya lagi,”
Fina memeluk Nesa.
Sebenarnya ia tak ingin melihat sabahabatnya selalu bersedih hanya karena satu
orang saja. Ia ingin Nesa bahagia, meski tanpa Alfian.
“Fin, apa aku bisa
bahagia?”
“Tentu, kamu pasti
bisa. Kamu masih punya banyak cinta disekelilingmu. Mama, papa, Kak Dino, Dik
Lian, keluarga mu yang lain, dan masih banyak juga sahabat serta teman-temanmu.
Kamu nggak sendirian, Nes. Ah ya, kamu masih punya Allah kan untuk diajak
curhat juga kan? Dia pasti sudah menyiapkan yang terbaik buatmu,”
Nesa mengangguk
mengerti.
“Hidup itu seperti
roda. Kadang di atas, kadang juga di bawah. Tapi yakinlah, disetiap kejadian
yang kita lalui selalu ada hikmah disana. Hanya saja kita tidak atau belum
melihatnya. Kita hidup bukan untuk masa lalu, tapi kita hidup untuk masa
depan,”
Dear
diary. Aku menunggu, sampai Sang Maha cinta mengizinkanku melupakanmu.
***
:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar